Monday 10 June 2019

Bayangan yang Lari Meninggalkan Tubuhnya

Dia bangun pagi seperti biasa. Kemudian dia bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju cermin. Bercermin, itu adalah kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan setelah bangun tidur. Dia ingin melihat apakah lingkaran hitam di matanya semakin bertambah, atau apakah ada jerawat lagi yang muncul di pipinya, atau apakah bibirnya dapat membentuk senyum yang simetris. Akan tetapi, hari ini dia mendapati sesuatu yang tidak biasa.

Tak ada bayangan di cerminnya pagi itu.

Dia terdiam sesaat untuk mencerna apa yang terjadi. Tangan kanannya dia tempelkan ke cermin, namun tetap saja tidak ada apa-apa di sana. Kemudian, teriakan panik keluar dari mulutnya. Dia menoleh ke semua sudut ruangan kamarnya untuk mencari bayangannya.

Lalu dia menemukannya di sudut kamar. Bayangan tersebut berdiri diam menatap pemandangan dari jendela kamar. Dia menghembuskan napas lega melihat sosok familiar tersebut. Lalu dia berkata kepada Bayangan, “Bayanganku, kembalilah kamu ke cermin.”

Bayangan tersebut menoleh ke arahnya. Tak disangka, Bayangan memperlihatkan wajah jijik ke arahnya. Dalam waktu sekian detik, Bayangan langsung keluar dari kamarnya melalui jendela. Dia ingin menjangkau Bayangan, tetapi Bayangan berlari dengan cepat. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan kamarnya dan berlari mengejar Bayangan.

Sepanjang pengejarannya, orang-orang yang menjumpainya di jalan menatap heran. Orang-orang tersebut menanyakan apa yang dia kejar. Setiap kali dia menjawab bahwa dia mengejar Bayangan, orang-orang itu menertawakannya seakan mengetahui permasalahan yang dihadapinya. Mereka berkata, “Sudahlah, bayangan itu sudah tidak mau lagi menjadi bayanganmu. Mintalah bayangan lain kepada Tuhan.”

Akan tetapi, dia tetap tidak acuh. Dia hanya menyahut, “Seandainya dia memang tidak ingin lagi menjadi bayanganku, setidaknya aku ingin tahu alasannya.” Lelah dan letih dia rasakan selama mengejar Bayangan. Sepanjang jalan itulah orang-orang selalu menasihatinya dengan kalimat yang sama. Sempat terlintas kata menyerah. Namun, rasa penasarannya lebih menguasainya daripada rasa lelahnya. 

Akhirnya dia sampai pada sebuah tempat yang sangat asing. Tempat tersebut berbeda dengan tempat yang sudah dia datangi selama ini. Tempat itu adalah sebuah perkampungan yang memiliki aura redup. Sepertinya, sinar matahari pun tak mampu mencerahkan keredupannya. Dengan hati-hati, dia memasuki perkampungan tersebut karena dia yakin ke sinilah Bayangan berlari.

Di tempat itu, dia menemukan banyak orang. Mereka berinteraksi satu sama lain dengan wajah yang cerah, tak seredup tempatnya. Dia mengenali mereka sebagai manusia. Akan tetapi, ada aura berbeda yang menyelimuti orang-orang yang dia lihat. Dia ingin tahu jawaban ini, tetapi dia ingin fokus terlebih dahulu untuk menemukan bayangannya.

Tiba-tiba dia dihadang oleh seorang kakek. Kakek tersebut memiliki aura yang sama dengan orang-orang yang berada di perkampungan itu. Sang Kakek tersenyum ke arahnya dan menghampirinya untuk bertanya, “Apa yang sedang kau cari, Nak?”

“Bayanganku.” Jawabnya.

Kedua alis Sang Kakek yang berwarna abu-abu terangkat. Sepertinya takjub. Sang Kakek berkata, “Aku tidak pernah melihat manusia sungguhan masuk ke sini mencari bayangannya.”

Seketika jantungnya berdegup kencang. Bulu kuduknya berdiri karena menyadari bahwa Sang Kakek serta orang-orang di sekitarnya bukan manusia seperti dirinya. Dia kemudian memperhatikan Sang Kakek lebih cermat dan seluruh ingatannya akhirnya mengarahkannya pada sebuah sosok yang familiar: seorang politisi yang memiliki jabatan di daerahnya.

Sadarlah dia perihal aura berbeda yang menaungi perkampungan itu.

“Kakek….. bayangan?” Dia bertanya dengan hati-hati.

Sang Kakek mengangguk. “Iya. Tidak perlu takut, Nak. Aku juga bayangan seperti bayangan yang engkau kejar. Aku di sini bersama bayangan-bayangan lain yang terpisah dari tubuhnya. Kau tahu siapa pemilikku, kan?”

“Iya. Dia politisi terpandang di daerahku. Tetapi, mengapa?”

“Banyak hal yang melatarbelakangi berkumpulnya bayangan-bayangan di tempat ini. Aku merupakan sosok bayangan yang rendah hati. Namun, pemilikku ingin menjadi sosok yang memiliki kuasa. Setiap malam dia menuntutku untuk menjadi lebih congkak dan licik untuk mendapatkan kekuasaan. Aku tidak bisa seperti itu. Akhirnya aku kabur darinya dan dia tidak pernah mencariku kembali. Sepertinya dia sudah mendapatkan bayangan baru.” Sang Kakek bercerita sambil matanya berkaca-kaca.

Dia pun luluh dengan cerita tersebut. Lalu dia kembali mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, melihat bayangan-bayangan yang berkumpul dan disatukan oleh nasib yang sama: kabur dari pemiliknya. Barulah dia mengerti mengapa Bayangan lari meninggalkannya.

Dia selalu menginginkan kesempurnaan.

Dia ingin Bayangan selalu terlihat sempurna agar orang-orang memujinya sekaligus iri terhadap kecantikannya. Dia kerap memarahi bayangannya sendiri ketika ada sedikit goresan yang dia rasa mengacaukan kecantikannya. Terkadang dia menangis di depan cermin karena tidak ada yang memujinya hari itu. Lalu dia menyalahkan Bayangan yang tidak dapat menampilkan sosok yang dia inginkan.

Dia lalu bertanya, “Kakek, apakah aku bisa bertemu dengan bayanganku kembali?”

Sang Kakek berpikir sejenak. Lalu berkata, “Sepertinya dia sudah betah di tempat ini. Apakah kau yakin ingin kembali memiliki bayanganmu?”

“Ya. Awalnya aku mengejarnya ke sini hanya untuk mengetahui alasannya. Namun, setelah aku tahu, aku tak ingin lagi menuntut kesempurnaan dan ingin belajar mencintai kekuranganku. Buat apa menjadi sempurna ketika bayanganku sendiri tidak menyukainya?”

Sang Kakek mengangguk mengerti. Lalu dia memanggil bayangannya untuk menghadap. Sang Kakek lalu berkata pada Bayangan, “Pemilikmu menginginkan kamu kembali,” Bayangan menatapnya dengan pandangan skeptis. Sang Kakek menambahkan, “tidak banyak manusia yang berlari ke sini. Berilah dia kesempatan.”

Dia mengulurkan tangan ke Bayangan. “Jadilah bayanganku lagi. Aku akan mencintai ketidaksempurnaanmu.”

Bayangan pun luluh dan tersenyum. Bayangan menyambut uluran tangannya dan berjalan pulang meninggalkan perkampungan bayangan, menyisakan kebanggaan pada wajah Sang Kakek yang berhasil menyatukan kembali tubuh dengan bayangan. Keesokan paginya, dia kembali bangun untuk menatap cermin. Lalu tersenyum lega melihat Bayangan yang sudah kembali ke sana.



Tulisan ini diterbitkan di majalah Suara STMKG 

No comments:

Post a Comment