Wednesday 20 April 2016

Teh Tebu di Stasiun

Stasiun Bandung di sore hari itu tidak berbeda dengan sore-sore sebelumnya. Calon penumpang kereta api berlalu-lalang dengan barang bawaannya. Para pedagang asongan pun tak mau ketinggalan berpartisipasi dalam keramaian itu dengan menawarkan snack, minuman, maupun rokok. Keramaian itu dilengkapi dengan suara berisik sirine kereta api yang telah siap memuat lebih banyak penumpang.
         
Di antara beberapa ratus jiwa yang berbagi oksigen di stasiun, aku adalah salah satunya. Aku dan ransel besarku akan menempuh perjalanan ke Yogyakarta untuk mengunjungi Nenek sekaligus mengisi libur kuliah. Aku sudah tidak sabar lagi ingin mengistirahatkan badanku yang lelah akibat banyaknya kegiatan kuliah yang aku ikuti.

Keberangkatanku satu jam lagi. Aku memutuskan untuk duduk di bangku tunggu stasiun, tepatnya di samping seorang ibu muda dengan penampilan layaknya ibu-ibu yang ikut senam aerobik tiap Minggu. Dia tersenyum sekilas padaku. Aku membalas senyumnya dengan sedikit canggung.
            
“Mas, mau ke mana?” Ibu itu mengajakku bicara.

“Yogya, Bu.” jawabku pendek.

“Keretanya kapan datang?”

“Satu jam lagi. Kalau Ibu mau ke mana?”

“Ke Malang. Ngejenguk keluarga.”

"Oh…”

Kemudian hening. Ibu itu tidak menanyaiku lagi. Aku memutuskan untuk mengisi waktu menunggu ini dengan memainkan game dari ponsel.

Dua puluh menit berlalu. Aku masih asyik bermain dengan ponselku. Tiba-tiba saja baterai ponselku habis. Aku kecewa. Aku lupa untuk men-charge baterainya sebelum pergi. Aku pun duduk termenung sambil melayangkan pikiranku, entah ke mana.

“Mas, mau teh tebu?” Ibu itu menawariku.

Merasa tidak haus, aku menggelengkan kepalaku. “Tidak, terima kasih, Bu.”

“Saya punya dua, lho, Mas. Kali aja Mas mau. Soalnya Mas ini kayaknya lagi nggak ada kerjaan.” ucap Ibu itu.

Aku hanya tersenyum. Aku memegang teguh nasihat orang tuaku bahwa aku tidak boleh terlalu percaya kepada orang yang baru dikenal. Ibu itu kemudian minum teh tebu itu sambil memainkan ponselnya.

Empat puluh menit telah aku habiskan. Aku pun merasa haus. Kemudian, aku membuka reselting ranselku untuk mengambil minum. Oh, betapa cerobohnya aku! Aku bahkan lupa membeli minum untuk bekal perjalanan.

Kemudian, aku teringat akan teh tebu yang ditawarkan oleh Ibu tadi. Ketika aku menoleh ke sampingku, ternyata Ibu itu sudah pergi. Yang ada di sampingku kini hanyalah dua cup teh tebu yang terbungkus dalam plastik putih. Salah satu dari teh tebu itu baru habis setengah sementara yang lainnya masih utuh. Yang aku tahu, teh tebu yang masih utuh itu adalah teh yang ditawarkan kepadaku. Tidak ada salahnya kalau itu aku ambil.

Tidak, tidak. Aku tadi sudah menolak teh itu. Berarti, itu bukan hakku.
  
Tapi, Ibu itu sepertinya sudah merelakannya untuk diminum oleh siapapun. Buktinya dia meninggalkannya di bangku ini.
  
Mungkin saja Ibu itu lupa untuk membawanya karena terlalu terburu-buru.

Tidak! Ibu itu memang meninggalkannya untuk aku minum! Lagipula, harga teh tebu itu tidak seberapa.
  
Mungkin saja pada awalnya teh itu dia beli untuk menemani perjalanannya. Kemudian, karena kasihan kepadaku, dia menawarkannya.

Persetan dengan semua itu! Teh tebu yang ada di hadapanku sekarang adalah rezekiku! Jangan sampai aku lewatkan!

Tidak! Aku belum minta izin ulang untuk meminumnya. Siapa tahu ibu itu masih memerlukan teh ini.

Aku dipusingkan dengan perdebatan antara sisi kanan dan sisi kiriku mengenai hal ini.

Mengambil sesuatu tanpa izin sama dengan mencuri. Sekali aku melakukan itu, maka aku akan melakukannya lagi tanpa takut bahwa itu dosa. Lama-lama aku akan melakukan pencurian yang lebih besar lagi!

Bisikan tadi akhirnya membuatku semakin mantap untuk mengembalikannya. Aku beranjak dari bangku dengan membawa bungkus plastik berisi teh tebu itu. Aku mengedarkan pandanganku ke setiap sudut stasiun untuk mencari Ibu itu.

Aku menemukannya! Ibu itu sedang berjalan menuju ke luar pintu stasiun.

“Ibu!” aku memanggilnya. Ibu itu masih belum menoleh.

“Ibu!” panggilku lagi dengan suara yang cukup keras. Akhirnya Ibu itu menoleh. Wajah Ibu itu ketakutan. Dia langsung berlari dengan langkah tergopoh-gopoh. Itu membuatku heran. Aku langsung mempercepat langkahku menuju Ibu itu.

Langkahku dicegat oleh seorang petugas. “Mas sedang mengejar siapa?”

“Ibu itu.” tunjukku pada Ibu tadi.

Aku langsung melanjutkan pengejaranku ke Ibu tadi diikuti oleh petugas dan beberapa pedagang asongan. Situasi stasiun semakin ramai. Aku menjadi heran dengan ini.

Akhirnya, Ibu itu berhasil ditangkap oleh dua orang pedagang asongan. Mereka membawanya kepadaku.

“Ini, Bu. Teh tebunya ketinggalan.” kataku sambil menyerahkan plastik berisi teh itu.

Orang-orang yang melihatku heran. Petugas tadi kemudian bertanya, “Mas, dompetnya sudah diperiksa, belum?”

Aku agak kaget dengan pertanyaan itu. Aku langsung merongoh saku celanaku. Dompet itu tidak ada!

Petugas itu langsung memeriksa isi tas serta saku Ibu itu. Aku terperangah. Sebuah dompet kulit berwarna hitam ada di sana. Tidak salah lagi, itu dompetku! Aku langsung memeriksa isinya. Uang sebesar 500 ribu beserta kartu-kartu masih utuh di sana.

“Lain kali hati-hati, Mas.”

Aku bernafas lega. Aku berterima kasih pada petugas itu serta para pedagang asongan yang telah membantuku mengejar Ibu itu. Andai saja aku tidak berniat mengembalikan teh tebu itu …

***

Rumah UN, 16 Desember 2012
ditulis dengan kerinduan akan rasa teh tebu

catatan:


cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cerpen Majalah Kuntum 2012. Hasil lomba dapat dilihat di sini. Terima kasih kepada Asya Ran (asyaran.wordpress.com) atas link pengumuman lombanya :)


1 comment:

  1. Kak, boleh izin cerpen ini dan muslimah dalam kardus di blog ku, tentunya, cantumin sumber, kok 😊

    ReplyDelete