Wednesday 20 April 2016

Muslimah di Balik Kardus

Ada secercah kedamaian yang tak dapat aku uraikan ketika aku menatap mereka. Mereka memakai mahkota bagaikan seorang ratu yang akan menahtai kerajaan surga. Mereka berjalan dengan anggun dan tidak menampakan diri dengan berlebihan. Kepala mereka tertunduk menatap tanah Allah, menghindari tatapan fitnah yang rawan menerkam mereka. Allah mendekap mereka. Aku iri. Mengapa aku tidak bisa seperti mereka?

            Gadis itu mengeluarkan tiga lembar uang seribuan dari saku celananya. Senyum tipisnya tersungging. Inilah hasil kerja keras yang dia lalui seharian dengan keringatnya sendiri. Kemudian, dia merebahkan dirinya di atas lembaran kertas koran lusuh yang terhampar. Matanya mengagumi keindahan cahaya bulan purnama yang sedang menampakan dirinya di antara ribuan bintang yang pudar karena cahaya lampu dan polusi. Dengan ikhlas, dihirupnya udara malam yang telah tercemar bau sampah.

            Aku masih diberi hidup. Aku mensyukurinya.

            Matanya tertutup perlahan. Ruhnya terbawa ke alam mimpi yang lebih indah.

***

            “Kima, bangun!”
           Sapaan itu mengawali hari baru Kima, gadis yang tertidur di atas lembaran koran. Dengan enggan, dia membuka matanya. Di hadapannya kini ada seorang laki-laki dengan senyum lebar. Onji, keluarga satu-satunya yang dimiliki oleh Kima.
            “Kau pasti kelelahan.”
            Onji membelai rambut adiknya yang berdebu. Kima belum bereaksi banyak. Dia masih beradaptasi dengan kehidupan nyata.
“Hari ini, kamu istirahat saja di rumah. Kakak yang akan bekerja.”
            Ajakan Onji membuat Kima menjadi terbangun sepenuhnya. Dengan cepat, dia menggelengkan kepalanya. Dia langsung berdiri dan berkata, “Kima tidak apa-apa. Kima akan ikut dengan kakak.”
            Kali ini, Onji yang menggelengkan kepalanya. “Kau masih tetap dengan keinginanmu?”
            “Iya, kak! Aku akan terus berusaha untuk mendapatkannya! Lagipula, uang yang aku kumpulkan sudah banyak. Beberapa hari lagi aku bisa membelinya.” jawab Kima bersemangat.
            Onji tidak bisa melawan lagi apabila Kima sudah teguh dengan pendiriannya. Dengan pelan, dia berkata, “Baiklah kalau itu maumu.”
            Kakak beradik itu kemudian berjalan berbarengan. Di usia yang seharusnya mereka pakai untuk menuntut ilmu di sekolah, mereka malah menggunakannya untuk memanggang diri mereka di bawah sinar mentari yang tak pandang usia. Mengais rezeki layaknya orang dewasa. Membanting tulang demi mencukupi kebutuhan. Di tempat orang-orang mengubur masa lalu mereka. Di mana sampah berserakan, di sana kalian dapat menemukan keharmonisan mereka.
***
            Itu adalah rumah, meskipun itu tidak layak disebut rumah. Rumah itu terbentuk dari susunan beberapa kardus bekas yang digepengkan. Luas rumah itu hanya sekitar 4x5 meter. Lantai rumah itu berupa tanah yang dilapisi oleh kertas koran. Atap rumah itu pun tidak tertutupi dengan sempurna. Namun, di sanalah Kima dan Onji tinggal.  
            Kima berlari ke rumahnya dengan langkah cepat dan wajah yang sumringah. Dia langsung mengambil sebuah plastik hitam yang berisi berlembar-lembar uang kertas serta beberapa koin ratusan. Dia memasukan uang hasil pekerjaannya hari ini dan kemarin ke dalam plastik itu. Tampaknya, uang-uang itu akan membentuk sebuah satuan yang besar.
            Penasaran dengan jumlah uang yang sudah dia kumpulkan, Kima pun membongkar isi plastik itu dan menghitung uang itu dengan hati-hati.
            Onji baru datang ke rumah dan membawakan sebungkus plastik yang berisi dua buah nasi bungkus. Ketika dia melihat Kima sibuk dengan pekerjaannya, dia tersenyum. Kemudian, dia mendekati Kima.
            “Bagaimana? Uangnya sudah cukup, kan?”
            Kima telah sampai pada perhitungan terakhir. Dengan girang, dia berkata, “Enam puluh lima ribu tujuh ratus! Cukup, kak!”
            Perasaan yang berbunga-bunga itu turut dirasakan oleh Onji. Dari matanya, tersirat sebuah kebanggaan akan gigihnya perjuangan sang adik untuk mendapatkan hal yang dia idamkan sejak lama. Selembar jilbab yang akan memanjakan rambutnya.
***
            Pohon beringin di pinggir jalan adalah saksi mimpi itu terucap.
            Kima dan Onji melepas lelah di bawahnya. Mereka menyandarkan punggung mereka pada batang pohon itu sembari menyaksikan kaki-kaki manusia dan roda kendaraan yang berlalu lalang tanpa peduli.
            Sepasang kaki mendekati mereka. Sebuah roti berukuran besar dijulurkan oleh tangan itu. Mereka menengadahkan kepalanya dan mendapati seorang wanita dengan hijab lebar berwarna hijau muda tersenyum pada mereka. Mereka menyambut roti itu tanpa berkata-kata, begitu pula dengan wanita itu. Setelah roti bersambut, wanita itu langsung berlalu.
            Kima dan Onji terdiam beberapa saat.
            “Ini rezeki, Kim!” seru Onji kemudian. Memecah keheningan di antara mereka.
            Kima masih tidak bereaksi. Tampak ada hal yang tengah mengusik pikirannya.
            “Kima?” Onji mengguncang tubuh Kima.
            “Eh, kakak. Kayaknya Kima akan lebih bagus kalau pakai kain itu, deh.”
            Dahi Onji berkerut.
            “Itu, loh! Kain yang dipakai oleh wanita itu! Jilbab! Kima merasa aman kalau melihat jilbab itu terpasang dengan rapi. Kepala Kima akan terlindungi dari sinar matahari dan debu. Kima pasti akan lebih nyaman kalau memakai itu.”
            Onji tertawa kecil. “Dengan uang yang kita hasilkan, kita hanya mampu membeli makan. Bagaimana kita akan membeli jilbab itu?”
            “Aku akan mengumpulkan uang untuk membelinya!”
            Tekad Kima telah dicatat oleh malaikat Rakib.
***
            Wanita yang menjaga toko busana muslim itu, ketika melihat Kima dan Onji mendekat ke tokonya, langsung berkata, “Maaf, de. Di sini bukan tempat untuk meminta-minta!”
            Menanggapi perkataan bernada mengusir dari wanita itu, Kima tersenyum. “Kami bukan mau mengemis, Mbak. Kami mau membeli jilbab.”
            Mulut wanita itu ternganga.
            “Iya, Mbak. Adik saya mau membeli jilbab. Mbak bisa bantu adik saya nyariin jilbab yang cocok buat dia?” Onji menambahkan.
            Melihat kesungguhan di mata kedua anak itu, wanita itu akhirnya bersedia melayani mereka. Di antara beberapa jilbab yang ditawarkan, Kima memilih sebuah jilbab berwarna hijau muda, seperti jilbab yang dipakai oleh wanita yang memberi mereka roti.
            Setelah keluar dari toko itu, Kima langsung memakainya. Onji memperhatikan adiknya dan tersenyum. “Nanti kakak akan membelikanmu baju yang cocok untuk jilbab itu.”
            “Nggak usah terlalu terburu-buru juga, kak. Yang penting, Kima sudah pakai jilbab.”
***
            Jilbab hijau muda Kima telah lusuh ditelan hari. Di beberapa bagian jilbab itu terdapat bolongan-bolongan kecil. Jilbab itu pun mulai longgar untuk dipakai olehnya karena kain yang sudah merenggang. Namun, simbol identitas muslimah itu tetap setia terpasang di kepalanya.
            Ternyata, takdir tidak memperbolehkan mereka untuk bersama dalam kurun waktu yang lebih lama.
            Saat itu, Kima dan Onji bekerja seperti biasa. Lokasi yang mereka datangi adalah sebuah tempat pembuangan sampah yang sering dikunjungi oleh pemulung-pemulung lainnya.
            Ekspresi yang tidak wajar kemudian tergambar dari wajah Onji. Dia seperti menahan sesuatu yang menyakitkan. Menyadari keanehan kakaknya, Kima meninggalkan pekerjaannya dan mendekati Onji.
            “Kakak kenapa?” tanya Kima khawatir.
            Onji berjalan dengan pincang menuju ke tempat yang tidak dipenuhi sampah, diikuti oleh Kima. Kemudian, Onji menunjuk kakinya. Betapa terkejutnya Kima melihat kaki Onji yang berdarah akibat pecahan beling minuman kaleng. Darah itu memenuhi telapak kaki sang kakak.
            Pandangan Kima langsung diedarkan ke penjuru TPS. Dia langsung berinisiatif untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan perban. Namun, sebagian besar TPS dipenuhi oleh sampah plastik. Bingung. Kima menggaruk-garuk kepalanya.
            Jilbab ini …
            Jilbab ini telah dia dapatkan dari hasil kerja kerasnya. Namun, kondisi kakaknya yang sakit itu …
            Kima yang terlanjur panik tidak ingin buang-buang waktu lagi. Dia langsung mencopot jilbabnya. Beling yang menancap di kaki kakaknya dia singkirkan terlebih dahulu. Kemudian, dia memberi perban untuk menutupi luka itu dengan jilbabnya. Onji takjub.
            “Kima …” panggilnya.
            Kima tahu apa yang ingin dikatakan oleh Onji. Dia langsung berucap, “Yang penting kondisi kakak dulu.”
            Onji pun tertunduk. Mereka belum mendapat penghasilan untuk hari ini. Mustahil bagi mereka untuk membeli obat maupun perban. Kini, jilbab satu-satunya Kima dipenuhi oleh darah kakinya.
            “Maafkan kakak, Kim …” ucap Onji lirih.
            Kima memeluk kakaknya dengan tulus. “Nanti Kima nabung lagi buat beli jilbab.”
            Buliran bening menghiasi kedua wajah itu.
***
            Aku tetap begini. Berjuang menghadapi hidup yang keras bersama Kak Onji. Tetapi, cita-citaku tetap sama: memiliki jilbab dan memakainya. Kini, aku menabung lagi untuk membeli jilbabku yang kedua. Aku yakin ini akan terealisasikan, meskipun penampilanku tidak bisa seanggun muslimah lainnya.
            Kima
***
            
catatan:
Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen yang diadakan oleh FLP Bandung bekerjasama dengan Festival Muslimah. Meskipun tidak menang, yang penting sudah berusaha lah ya ^^
Hasil lomba dapat dilihat di sini

No comments:

Post a Comment