Wednesday 20 April 2016

Di Bawah Langit Berpolusi Cahaya

Di bawah langit berpolusi cahaya, kita mengucap janji temu.

Kau tahu, di kota ini ada berjuta penduduk yang berlalu lalang di jalan dengan problematika kehidupannya masing-masing. Kebisingan bunyi kendaraan pun tak terelakan. Kota ini tak pernah mati, kata orang-orang. Namun, kau tahu sebuah tempat yang nyaman untukku. Tempat yang tepat untuk menyendiri. Karena kau tahu bahwa aku senang berkencan dengan kesendirianku.

“Jika “sendiri” itu hadir dalam sosok manusia, mungkin kau akan menikahinya.” candamu dalam sebuah pesan singkat yang terkirim untukku.

Di bawah langit berpolusi cahaya, aku berjalan gugup ke tempat yang kau janjikan.

Kau tahu, selama ini sebagian percakapan kita tersalurkan lewat dunia maya. Kita memang pernah bertemu dan berkumpul dalam sebuah kelompok, membaur dengan orang lain. Tetapi, percakapan kau dan aku hanya sebatas sapa. Sedikit bercanda. Sedikit bercerita. Lalu kau lebih asyik dengan orang lain. Dan aku lebih asyik membaca buku sendiri.

Aku memang sudah terbiasa menjadi orang yang diabaikan. Orang-orang begitu. Kecuali kamu. Entah apa yang ada di pikiranmu sehingga pada suatu saat kau mengajakku larut dalam kesibukanmu. Saat itulah kau mampu mengeluarkan salah satu sisi humorisku. Kau buat aku berbicara. Kau buat aku berbagi cerita. Tetapi hanya sampai waktu sibukmu.

Lalu ada beberapa jeda setelahnya. Aku bosan, mungkin. Aku ingin membagi duniaku lagi denganmu, lebih tepatnya itu. Dengan intensitas pertemuan yang jarang, teknologilah jembatannya. Aku banyak mengoceh. Kau mendengarkan. Kau juga membagi canda. Sampai akhirnya obrolan panjang itu melahirkan sebuah janji baru. Janji untuk bersua lagi. Bukan dalam kesibukan, namun dalam waktu senggang.

Di bawah langit berpolusi cahaya, aku telah melihatmu dari kejauhan.

Aku melangkah menuju tempatmu berdiri. Suara dari derap kakiku ini berhasil menarik perhatianmu. Kau menoleh ke arahku. Meski ekspresimu agak tersamarkan oleh gelap malam, aku masih bisa menangkap binar kedua bola matamu dari balik kacamata minusmu.

Di bawah langit berpolusi cahaya, di sinilah kita berjumpa lagi, di puncak sebuah gedung yang cukup tinggi. Tempat yang bagus untuk bunuh diri, gumamku.

“Kau tidak berpikir untuk membuatku menjadi saksi atas bunuh dirimu, kan?” tanyaku, sedikit bercanda.

Kau hanya menyeringai. Kemudian, kau mengajakku duduk di bangku yang ada di puncak gedung itu. Kita duduk bersisian, berbatas tiga jengkal. Kita tak langsung bicara. Hanya membiarkan hening menjadi bagian dari percakapan kita. Kau sibuk memandang langit, sementara aku sibuk mengagumi gemerlap malam kota metropolitan dari atas gedung itu.

“Kau ingat perkenalan kita?” tanyamu sembari mengakhiri jeda.

Di bawah langit berpolusi cahaya, kita berkenalan.

Kita adalah dua orang asing yang dipertemukan oleh sebuah garis khayal. Entah kau menyadarinya atau tidak. Maka, ketidaksadaran itu yang membuat kita selalu menganggap peristiwa itu sebagai kebetulan.

Hari itu, kita berdiri saling berhadapan.

Hello, my name is Bintang. And you?” kau menyapaku lebih dulu. Saat itu, kau tersenyum lebar memamerkan keramahanmu, seakan kau ingin mengatakan bahwa kaulah orang paling menyenangkan di dunia.

Aku menjawab, “Nice to meet you, Bintang. My name is Bulan.

Orang-orang yang memperhatikan kita langsung bergumam. Tak jelas mereka bilang apa. Tetapi mereka mungkin heran. Sama sepertiku. Atau mungkin juga kamu. Dan juga seorang wanita berusia sekitar 40-an campuran Indonesia-Australia yang menyuruh kita untuk maju ke depan dalam rangka mempraktekkan Basic English Conversation, materi pertama dari English Club, kegiatan kampus yang sama-sama kita ikuti.

Wow, Bulan and Bintang meet on the Earth! What a coincidence!” ucap wanita itu kepada kita.

Di bawah langit berpolusi cahaya, aku menceritakan perkenalan yang mengesankan itu. Tak lupa dengan ungkapan rasa kekagumanku atas kebetulan yang pernah terjadi pada kita.

“Karena itulah aku membawamu ke sini, Bulan. Aku ingin lebih dekat dengan ciptaan Tuhan yang menjadi inspirasi orang tua kita dalam menamai kita.” ujarmu.

Aku pun memandangmu. Mencari kesungguhan dari matamu. Bintang, mungkinkah memang kita memiliki kesamaan? Selama ini, kau selalu terlihat ekstrovert. Kau menyukai keramaian. Kau menemukan kekuatanmu di tengah orang banyak. Malam ini, aku melihat kekuatanmu juga di sini, bersama kesendirianmu.

Di bawah langit berpolusi cahaya, aku sulit menemukan bintang. Atau mungkin cahaya bintang sudah dikalahkan oleh cahaya-cahaya kota ini.

“Aku tidak menemukan bintang...” kataku dengan sedikit geram.

Kau hanya tersenyum. Lalu kau menunjuk ke arah Barat Daya dari tempat kita duduk. Ada bulan yang tengah mengalami fase kuartir satu di sana. Dari puncak gedung, bulan terlihat lebih besar dari biasanya.

Di bawah langit berpolusi cahaya, bulan masih bisa menampakkan diri.

Kau bercerita, “Kau tahu, kan, definisi bintang? Yaitu benda langit yang memancarkan cahaya sendiri. Definisi yang sama dengan matahari, salah satu jenis bintang. Orang tuaku ingin aku menjadi orang yang mandiri. Juga, orang yang senang membantu orang lain. Layaknya matahari yang memberi kehidupan pada bumi. Selama matahari tampak, selama itu pulalah dia diingat. Kemudian matahari tenggelam.

Penampakannya di bumi digantikan oleh bintang-bintang lain. Namun, polusi cahaya menenggelamkan sinar mereka. Kau tahu apa makna dari itu?”

Aku menggeleng. Kau pun melanjutkan, “Sinar yang ditenggelamkan, seperti kebaikan yang dilupakan. Sampai-sampai bintang tak nampak sama sekali di malam ini. Walaupun begitu, keesokan harinya matahari tetap memberi cahaya pada bumi ini. Ya, tetap menjadi orang yang berguna bagi orang lain tanpa pamrih. Itulah yang diinginkan orang tuaku ketika memberiku nama ini.”

Kau menatapku lagi. Kini lebih dalam.

“Bulan, kau memang seperti bulan,”

Ada debaran halus di dadaku.

“Bulan memiliki daya tarik dengan bumi sehingga terjadi pasang surut. Seandainya tak ada cahaya matahari yang menyinarinya, mungkin kehadiran bulan tidak pernah diketahui oleh manusia di bumi sampai sains modern berkembang.

Bulan, kau dapat menjadi orang yang memiliki pengaruh, tetapi kau sangat pemalu. Bulan memang memerlukan cahaya matahari agar cahayanya tampak indah seperti ini, bahkan ketika langit berpolusi cahaya. Matahari itu bintang. Bulan membutuhkan bintang. Dan jika bulan tidak ada, langit berpolusi cahaya ini tak akan berhias. Langit hanya berisi polusi, Bulan...”

Aku terpaku dengan rangkaian kata yang baru kau untaikan. Baru aku tahu, kau ingin membuatku menginterpretasikan kata-katamu lewat analogi nama yang melekat pada kita.

Di bawah langit berpolusi cahaya, aku mendengarkan isi hatimu.

“Kau membutuhkanku, Bulan. Aku juga membutuhkanmu. Aku akan selalu menjagamu. Menjaga dirimu dan keindahanmu.”

Dan di bawah langit berpolusi cahaya ini, aku disadarkan dengan kehadiran rasa baru. Indah. Indah sekali.



Pondok Betung, 5 Agustus 2015

Artikel ini juga dipos di sastramu.com

No comments:

Post a Comment