Wednesday 20 April 2016

C*NT*

Kembali, dia merasakan sesuatu yang aneh menggerayangi hatinya. Itu membuatnya terpanggil untuk duduk berhadapan dengan meja tulisnya. Padahal malam sudah memanggilnya untuk berselimut nyaman di atas tempat tidur. Tetapi perasaan aneh itu memenangkan duel dengan rasa kantuknya. 

Selembar kertas binder bergambar hati terpampang di hadapannya, siap untuk ditulis. 

“Putri, apakah besok adalah waktu yang tepat buat mengungkapkan perasaanku?” dia berbicara sendiri sambil terus memandang kertas kosong di depannya. 

Percuma saja dia berkata begitu. Tak ada yang menjawab. Mungkin cicak dan nyamuk yang berhadir di kamarnya waktu itu lebih memilih untuk bermain bersama daripada mendengarkannya. Sedangkan di sekitarnya hanya ada benda-benda mati. 

“Kau harus menyatakannya segera sebelum Putri diambil oleh orang lain!” 

Suara itu mengagetkannya. Dia sempat bangkit dari kursinya dan mencari-cari sumber suara. Setiap sudut kamar sudah dia perhatikan tetapi dia tidak menemukan seorangpun bersembunyi di sana. Itu membuat bulu kuduknya merinding. 

“Siapa itu?” 

“Hei, Dion. Aku di sini, di hadapanmu.” 

Menolehlah ia ke meja belajarnya. Masih dia temui kertas binder kosongnya itu. Tetapi baru dia sadar ada sesuatu yang aneh baru saja terjadi. Kertas bindernya itu perlahan membentuk sebuah wajah. Sepasang mata dan mulut yang bisa bergerak. 

“Hellooo ….” sapa kertas itu.

“Aaaaaaaaaaaaargh!” Dion berteriak kaget melihat hal yang tidak biasa itu. 

“Hei, tenang, tenang. Aku nggak bakalan jadi orang jahat, kok.” 

Beberapa saat kemudian, barulah Dion bisa membiasakan diri dengan hal itu. Dia kembali duduk tenang di atas kursinya dan memelototi kertas yang sekarang sudah hidup itu. Entah peri mana yang menyihirnya sehingga dia bisa begitu. 

“Hahaha, kau pasti kaget!” 

“Siapa bilang nggak kaget?” agak kesal juga Dion menjawabnya. 

“Oke, di suatu kesempatan yang langka ini aku ingin membantumu .” 

“Iya gitu? Kau tahu apa?” 

“Aku tahu segalanya! Kegelisahanmu tiap malam karena perasaan spesialmu itu kepada Putri!” 

“Masa?” 

“Iya. Aku, kan, selalu kau letakkan dengan bisu di atas meja belajarmu. Mungkin kamu pikir kamu harus mencari waktu yang tepat untuk bisa mengirim kata-kata indahmu kepada Putri. Dan aku pikir sekaranglah waktu yang tepat! Kau sudah memikirkannya matang-matang, kan, selama tiga minggu ini?”

Dion belum menjawab. Dia masih bimbang akan keputusan yang akan dia ambil malam ini. 

“Ayooo … Tuliskan saja, Dion!” 

Suara ramai mendukungnya. Kemudian di hadapan Dion kembali bermunculan hal-hal yang tidak pernah dia lihat sebelumnya—seluruh alat tulisnya hidup! Pensil 2B, pensil mekanik, pulpen, tipe-X, penggaris, dan penghapus yang berkumpul membentuk keluarga bahagia di kotak pensilnya selama ini. Mereka bahkan bisa berjalan dengan bantuan kaki tangan imajiner. 

“Lo? Kalian?” Dion keheranan. 

“Kamu nggak sadar ya, selama ini Putri juga mempunyai perasaan yang sama denganmu!” 

Penghapus menegaskan. 

Dion menggeleng. 

“Dia sering minjam aku sama kamu. Dia mencoba menarik perhatianmu agar lebih sering berinteraksi sama kamu. Sebenarnya dia punya penghapus lain, tetapi dia simpan. Kamu tau, nggak, apa yang biasanya dia hapus? Dia menghapus namamu yang sering tanpa sadar dia tulis!” Penghapus kembali menjelaskan. 

Tiba-tiba rasa berdebar-debar yang dimiliki oleh Dion menjadi semakin dasyat. Dia suka sama aku! Dia juga suka sama aku! 

“Sudahlah, Dion. Kami semua yang ada dalam kotak pensil ini menjadi saksi kedekatan kalian berdua selama setahun ini. Jadi tunggu apa lagi? Kau sudah banyak mengetahui hal-hal yang kadang dia sendiri nggak tahu.” Pensil 2B mendukung penjelasan Penghapus.

“Ayo, Dion! Kau seorang penulis. Kau mampu merangkai kata-kata lebih baik daripada para penggombal!” Penggaris berteriak berapi-api serasa ingin mengobarkan semangat dalam diri Dion. 

“Tinggal pilih, mau pakai aku atau Pensil Mekanik?” Pulpen sudah mengajukan dirinya. 

Dion tersenyum mendengar suara para pendukungnya. Lalu dia melemaskan persendian tangannya sebentar, hal yang biasa dia lakukan sebelum menulis. Kemudian dia mengambil pensil mekanik. Kalimat demi kalimat berusaha dia susun di atas kertas bindernya itu. 

Putri …

Mungkin kehadiran kertas ini bisa membuatmu kaget. Dengan ini, aku ingin sekali menyatakan bahwa …

“Eit, stop! Stop!” tiba-tiba Pensil Mekanik berteriak mengagetkannya.  

“Kamu kenapa?” tanya Pensil 2B sambil memperhatikan tulisan yang dibuat Dion di atas kertas binder. 

“Isi suratnya bisa jadi pendek kalau kamu langsung nulis gitu, Au. Mending kamu deskripsikan dulu dengan jujur apa yang sering kamu rasakan ketika ingat dia …” Pensil Mekanik mengusulkan. 

Dion tampaknya setuju dengan usulan itu. Dia pun mengambil penghapus dan kembali berhadapan dengan kertas binder yang kosong. Kembali dia memusatkan pikirannya. Matanya terpejam. Tahu kalau pemiliknya tengah berkonsentrasi, maka alat-alat tulis yang hidup itu pun memilih untuk diam sejenak, menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh tuannya. 

Putri … 

Selembar kertas ini mungkin hanya menjadi sebuah sampah yang tidak berarti bagimu. Tapi aku akan senang sekali jika kamu bisa menyempatkan diri di tengah kesibukanmu untuk membaca beberapa patah kata yang bersusah payah aku tuliskan, karena aku menulisnya tidak hanya dengan tanganku saja, tetapi segenap anggota tubuhku yang menggerakkan aku, mendorongku untuk berani. 

“Gimana?” Dion meminta pendapat kepada alat-alat tulisnya. 

“Bagus, bagus. Lanjutkan!” 

Jalinan pertemanan kita sudah terjalin sejak pertama kali kita menginjakkan kaki kita di SMA 5. Bagaimana bisa aku lupa? Sesosok gadis dengan mata penuh binar keceriaan yang mengajak bocah cupu ini memasuki dunianya. Gadis yang menyapaku pertama kali ketika aku duduk di kursi pojok paling belakang tanpa seorangpun teman. Gadis yang membuatku bisa bergaul dengan yang lain. 

Gadis itu adalah kau, Putri. 

Sesuai namamu, sosokmu memang memiliki wibawa dan anggun—seperti seorang putri. Pantas banyak lelaki yang memperebutkanmu. Tetapi dengan mudahnya kau tolak dengan alasan “tidak ingin memiliki kekasih dulu” dan memilih untuk berteman denganku. 

Kau lebih memilih aku? Mungkin satu sekolah menertawakan keputusanmu. Aku bukanlah sosok yang keren seperti Ketua OSIS, kapten basket, ataupun anak band. Aku hanyalah seorang pemburu peringkat kelas dan penikmat sains yang gemar merangkai kata-kata di depan buku tulisku. Kau selalu datang kepadaku untuk menanyakan banyak hal yang aku sukai sehingga aku sampai tak memberi ruang bagimu untuk mengeluarkan pendapat. Tetapi entah kenapa kau selalu terihat antusias dan binar matamu yang—jujur—aku sukai kembali bersinar indah. 

“Oke, Dion. Ini saatnya!” Kertas Binder menyemangatinya. Dion menarik nafas, kemudian dia menulis lagi. 

Inilah yang ingin aku katakan kepadamu, Putri. Ketika sosokmu hadir di hidupku, aku merasakan sesuatu yang tidak biasa aku rasakan sebelumnya. Setiap malam menjelang tidurku, aku selalu membayangkan kehadiranmu hari itu—hal yang tidak pernah aku lakukan kepada gadis manapun sebelumnya. Setiap aku berusaha untuk melupakanmu, kau tetap saja hadir tak berkesudahan. Kau telah bertahta penuh di hatiku. Apabila hatiku diibaratkan sebuah tempat, hanya ada kau di dalamnya. Aku tidak bisa menerima orang lain lagi. 

Aku bertanya, apakah perasaan ini? 

Ketika aku mendengarkan lagu-lagu, ketika aku membaca puisi, ketika aku menyimak novel, barulah aku tahu bahwa aku tengah kasmaran. 

Putri, aku c*nt* kamu 

“Lho? Dion? Ada apa denganmu?” Pensil 2B heran melihat kalimat terakhir yang dituliskan oleh Dion. Seperti tulisan yang disensor. 

“Jujur, aku masih merasa malu mengucapkan kata yang terdiri atas lima abjad dengan awalan C itu. Kata itu … entah kenapa aku merasa masih malu …” 

“Kenapa begitu? Kan tinggal tuliskan saja.” Pensil Mekanik ikut bicara. 

Semua alat tulisnya pun berkumpul di hadapannya dan memandang Dion dengan pandangan iba. Wajah Dion terlihat jelas bersemu merah meski ketika itu hanya diterangi dengan cahaya lampu meja belajar.

“Kalian pernah merasakan apa yang aku rasakan?” Dion menanyakan itu kepada peralatan tulisnya. 

“Kami hanya merasakan perasaan itu kepada pemilik kami. Kami berusaha memberikan kualitas yang terbaik agar bisa membantu pemilik kami dalam proses tulis menulis. Jelas kami tidak bisa merasakan yang kamu rasakan karena kami originalnya adalah benda mati.” Penggaris menjawab sebagai perwakilan alat tulis lain. 

“Hei, mengapa kamu begitu tabu ketika kamu mau menyebutkan kata c*nt*?” 

“Bagaimana lagi? Sebenarnya aku sangat menyambut baik sekali perasaan baru ini. Tetapi, aku tidak ingin rasa ini hanya sekedar perasaan sesaat. Mungkin pikiranku terlalu diracuni dengan doktrin kata itu dalam lirik lagu, puisi, film, maupun novel. Mereka selalu mengibaratkan “dari mata turun ke hati” kemudian adegan yang lebih dimaksud dengan pelampiasan nafsu, ada pula sebuah jalinan yang disebut pacaran dan dengan mudahnya jalinan itu bisa terputus. Apakah perasaan itu harus dipermainkan sedemikian rupa? Aku tidak ingin definisi perasaan itu mengikuti apa yang dibicarakan oleh media itu …” 

“Huss … tenanglah, Sobat. Kau mempunyai pendefinisian tersendiri untuk kata itu. Jadi, buat apa malu?” Pulpen Snowman menghibur. 

“Emm … tapi aku kembali ragu. Apakah aku bisa mempertahankan konsekuensiku terhadap Putri?” 

“Jangan ragu lagi! Kau sudah merasakannya sejak lama dan sampai sekarang kau masih merasakan getaran itu, kan? Jadi tunggu apa lagi? Kata itulah yang akan membuatmu lega dan mungin kata itu pulalah yang ditunggu-tunggu oleh Putri agar keluar dari mulutmu. Apapun definisi kata itu, kau adalah kau. Dan Putri akan selalu menyambutmu dengan senang hati. Jangan anggap itu tabu karena kau telah menggambarkan yang sejati!” 

Kalimat yang cukup panjang dari Pensil Mekanik tadi cukup memantapkan hati Dion. 

Tangannya kembali menari di atas kertas binder. Kini hanya lima huruf yang dia bubuhkan. 
C …. I …. N …. T …. A 

Putri, aku CINTA kamu! 
***
Kriiiing ... Kriiiiiiiiing ….

Pukul 6 pagi. 

Dion mematikan jam wekernya dan segera bangkit dari tempat tidurnya. Jendela kamar dia buka untuk sirkulasi udara. Wajahnya langsung diterpa dengan kesejukan udara pagi yang dia hirup sepuas-puasnya. 

Hei, sepertinya malam tadi aku bermimpi indah, gumamnya. 

Tetapi betapa kagetnya ia ketika melihat kertas binder bergambar hati yang selama ini dia letakkan kosong di atas meja belajarnya kini telah terisi dengan kata-kata yang seingatnya dia tuliskan tadi malam. Begitupula dengan peralatan tulis yang berhamburan di sekitar kertas binder. 

Beberapa saat kemudian, dia tersenyum. 

Oke, aku memang harus menyerahkan ini kepada Putri! 

Aku CINTA kamu, Putri! 

Ingin sekali dia meneriakkan kata-kata itu kepada seisi dunia yang baru menyambut pagi. 


***

No comments:

Post a Comment